KARYANASIONAL.COM – Dinamika pemilihan kepala kampung (Pilkakam) serentak di Kabupaten Lampung Tengah yang sukses digelar 7 November 2019 lalu, nyatanya masih menyisakan cerita. Argumentasi pun bermunculan usai dilaksanakannya pesta demokrasi tingkat kampung itu.
Betapa tidak. Mulai dari isu perpecahan hingga maraknya praktik money politics, turut larut dalam cerita Pilkakam serentak.
Hal itu terungkap saat sejumlah tokoh dari Kampung Buyut Udik, Kecamatan Gunung Sugih, menyambangi Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung Tengah, belum lama ini.
Dasrul Aswin misalnya. Tokoh masyarakat Kampung Buyut Udik ini memaparkan info dan fakta di lapangan yang didapatinya. Dimana menurut dia, pada Pilkakam serentak tahun 2019, ditemukan paradigma baru yang menyeruak.
“Jadi para calon kakam ini sanggup menghalalkan segala cara dalam penggalangan mencari pemilih. Salah satunya melalui praktik money politics, dengan besaran nominal yang sangat luar biasa. Tujuannya jelas, yakni agar hak pilih masyarakat dapat diberikan kepada si calon ini,” terangnya.
Dilanjutkannya, dari penelusuran di kampung itu saat pelaksanaan Pilkakam, terungkap jika ‘menggilanya’ para calon kakam itu melaksanakan praktik money politics, dikarenakan jika dapat memenangi kontestasi Pilkakam, maka ‘uang besar’ yang dikeluarkan para calon kakam itu, akan mudah untuk dikembalikan, melalui pemanfaatan Alokasi Dana Desa yang saat ini memiliki nilai cukup fantastis.
“Kita bukan hanya pantau di Buyut Udik saja. Hal yang sama pun terjadi di sejumlah kampung lainnya yang ada di kabupaten kita ini, yang juga melaksanakan Pilkakam. Paradigma berpikirnya si calon kakam, jika menang kontestasi, maka dapat mengelola bantuan ADD yang memiliki nilai fantastis itu,” paparnya.
Lebih jauh dijelaskan mantan Kepala Kampung Buyut Udik era 2007 itu, dalam mencari pemilih atau masyarakat yang memiliki hak pilih, baik calon kakam maupun tim pemenangannya ditemukan indikasi transaksional yang kental menggunakan cara preman.
“Tim pemenangan tersebut sanggup membeli hak suara dengan nominal yang tinggi. Mekanismenya sangat terorganisir. Awalnya mereka tawarkan angka Rp 100 ribu. Jika ditolak, maka negosiasi dilanjutkan sampai ada titik temu. Kalau buntu, maka mereka menyerahkan uang dengan nominal sangat tinggi untuk satu suara, tapi ada embel-embel pengancaman atau intimidasi,” terang dia.
Paradigma tersebut, lanjut Dasrul, semestinya disikapi serius oleh pihak terkait. Tujuannya, supaya masyarakat itu tidak melulu dicekoki dengan sistem politik pragmatis.
“Setelah kami telusuri, kenapa para calon itu sanggup menjalankan pola intimidasi dan jor-joran merogoh saku, rupanya karena mereka ini tahu bahwa setiap tahun di kampungnya mengelola ADD dengan nilai miliaran rupiah,” urai Dasrul.
Dasrul pun mengimbau dan mengajak semua pihak terkait, seperti Inspektorat, Kejaksaan, dan Kepolisian, untuk dapat pro aktif dalam pengawasan penggunaan ADD.
“Bukan hal yang mustahil bila pelaksanaan implementasi ADD di lapangan terprediksi nyaris hanya terealisasi 75 persen saja. Karena masyarakat sendiri, merasakan jika ADD ini belum tampak manfaatnya. Kesan yang timbul adalah, ADD ini banyak menyimpang dari petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku,” tandasnya. (Sur/Dra)