KARYANASIONAL – Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Aliansi Jurnalistik Online Indonesia (AJOI) Provinsi Lampung mengutuk keras segala bentuk dan upaya siapapun yang menghalangi-halangi wartawan saat menjalankan tugas jurnalistiknya.
Penegasan tersebut disampaikan langsung oleh Ketua DPD AJOI Lampung, Danial, menyikapi adanya salah satu Pejabat di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pekon (DPMP) Kabupaten Pesisir Barat (Pesibar) yang melarang Jurnalis membawa handphone keruangannya saat ingin mengkonfirmasi pemberitaan.
“Segala bentuk intervensi, pengekangan maupun intimidasi atas kerja Jurnalis tentu tidak dibenarkan dan bertentangan dengan kebebasan Pers itu sendiri dalam fungsi menghasilkan karya Jurnalistik yang seimbang dan bertanggungjawab,” ujar Danial, Jum’at (20/1/2023).
Menurutnya, Wartawan atau Jurnalis memiliki hak konfirmasi sesuai dengan Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Bahwa Pers Nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional. Sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari pihak manapun.
“Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, yang di pertegas dalam Pasal 18, bahwa setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun, atau denda paling banyak 500 juta rupiah,” ungkapnya.
Sebelumnya, Kepala Bidang (Kabid) Pemerintahan dan Kelembagaan Pekon pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pekon (DPMP) Kabupaten Pesisir Barat (Pesibar) Diduga Melanggar Undang-Undang (UU) Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Dugaan pelanggaran tersebut terjadi ketika sejumlah awak media ingin meminta tanggapan terkait Peratin yang diduga telah ditahan Kepolisian Daerah (Polda) Lampung, namun oknum Kabid DPMP Pesibar melarang media membawa telepon seluler atau handphone kedalam ruangannya, Senin (16/1/2023).
“Kalau mau konfirmasi handphone ditarok didalam loker,” seru Kabid DPMP Pesisir Barat kepada sejumlah awak media, saat sedang menjalankan tugas jurnalistiknya.
Belum diketahui secara pasti kenapa Kabid DPMP Pesibar tersebut melarang wartawan membawa handphone jika ingin melakukan konfirmasi ke ruangannya.
Saat dikonfirmasi didepan Kantor Pemerintah Kabupaten Pesisir Barat, Plt. Kepala DPMP Pesibar, Imam Habibudin menjelaskan bahwa, pelarangan tersebut kemungkinan dari teman-teman yang ada di kantor melakukannya untuk kenyamanan bekerja.
“Jadi tamu ataupun media yang ingin melakukan konfirmasi handphone nya di tarok dikantor supaya kita bisa memberikan informasi ataupun melayanani dengan baik. Gitu aja, tidak ada maksud lain, terkait aturan itu tidak ada mungkin kebijakan, supaya bisa melayanani tamu dengan baik, kan tidak enak kalau handphone bunyi,” dalih Plt. Kadis DPMP Pesibar.
Namun, alasan tersebut menjadi pertanyakan sejumlah awak media, kenapa pihak dinas melarang wartawan membawa handphone android keruangan Kabid saat melakukan konfirmasi.
“Kami media tentunya bertanya-tanya mengapa wartawan dilarang membawa handphone saat ingin melakukan konfirmasi, sementara kita bekerja sebagai jurnalis memang butuh handphone sebagai alat pendukung, itu saja tidak lebih” ujar Rikki Pratama, Kabiro Karyanasional Pesibar, mewakili rekan-rekan media lainnya.
Semua peristiwa tersebut diduga telah Melanggar UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tepatnya Pasal 4. Di sana disebut: “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.” Yang dimaksud dalam pasal ini, seperti tertulis pada bagian penjelasan, adalah pers bebas dari “tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin.”
Sanksi diatur dalam Pasal 18. Di sana disebut kalau siapa saja yang dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan terhambatnya kemerdekaan pers “dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta”. (RP)